Sunday 2 October 2022

Long Distance Marriage, Sebuah Ujian Hidup Rumah Tangga

    Dua tahun sudah Long Distance Marriage menyapa fase kehidupan kami. LDM bukanlah masa yang mudah untuk dijalani. Meskipun sadar kalau suatu saat kami akan mengalami fase hidup ini karena tuntutan pekerjaan, tapi ketika pertama kali tahu harus LDM tetap saja air mata membanjiri pipi. Kami tinggal di kota ini pun dengan status perantau, jauh dari keluarga. Jadi LDM benar-benar membuat saya dan anak-anak akan sendiri.

     Apakah saya mampu? Itu pertanyaan pertama yang ada dalam kepala. Waktu itu anak pertama mau naik ke kelas 6 SD dan anak kedua mau naik ke kelas 5. Momen yang sangat membutuhkan pendampingan dan kehadiran kami secara utuh sebagai orangtua. Saya tidak yakin bisa sendiri secara fisik dan hati dalam mendampingi anak pertama yang kala itu belum tahu mau meneruskan sekolah dimana.

     Pada 6 bulan pertama terasa berat untuk menjalani semuanya sendiri meski nun jauh di sana suami masih rutin chat dan telfon. Tapi rutinitas saya sebagai ibu bekerja dan anak-anak yang memiliki jadwal cukup padat membuat saya agak jungkir balik membagi waktu. Terlebih kami tidak punya asisten rumah tangga. Setidaknya support suami dari jauh masih menambah kekuatan untuk menjalani keseharian yang melelahkan.

        Bulan-bulan berikutnya komunikasi kami mulai berkurang secara kuantitas maupun kualitas. Mungkin kesibukan suami di sana yang harus kerja sambil kuliah membuat waktu chat dan telfon kita menjadi berkurang. Perbedaan waktu 2 jam juga cukup menjadi kendala. Kondisi ini membuat saya harus membesarkan hati bahwa semua harus dilalui sendiri. Sugesti positif bahwa diri ini harus dan pasti kuat melalui semuanya terus dimasukkan dalam pikiran. Hingga akhirnya semua berjalan baik-baik saja. Tapi ada efek negatifnya dari sugesti ini. Saat suami pulang, semua jadi canggung. Karena merasa semua sudah berjalan baik-baik saja, kehadiran suami di rumah seperti menjadi hal yang aneh. Biasanya dalam keseharian saya memutuskan semua sendiri, menjalani semua sendiri, hanya mengurus anak-anak saja, tiba-tiba saat suami ada di rumah saya harus berbagi kepala dan saya harus menerima tugas tambahan mengurusi suami. Agak aneh rasanya tapi tetap harus dijalani setidaknya dalam 3 minggu suami di rumah. 

      Akhir-akhir ini, memasuki masa dua tahun LDM ada hal lain yang menjadi tantangan. Komunikasi semakin memburuk, chat semakin jarang, telfon semakin jarang. Sementara entah kenapa saya sendiri juga egois, kalau gak dihubungi duluan ya gak akan menghubungi kecuali sangat terpaksa. Padahal ada kebutuhan seorang istri yang harus dipenuhi. Wanita itu memang kuat menjalani semua sendiri, tapi ada kebutuhan untuk didengarkan, kebutuhan untuk diperhatikan dan kebutuhan lain yang gak bisa disebutkan di sini. Sayangnya, kebutuhan ini sulit sekali saya sampaikan ke suami. Saya memilih untuk diam dan membesarkan hati bahwa saya mampu menjalani semuanya sendiri. 

    Kondisi kesibukan dan suasana kantor yang sedang tidak karuan cukup menguras energi sehari-hari. Rasanya butuh support system yang baik menghadapi ini. Inginnya setiap pulang kerja ada yang mendengarkan semua cerita agar hati dan kepala kembali bersih pada posisi normalnya. Tapi kebutuhan ini gak didapatkan dari suami yang entah kenapa semakin jarang menghubungi dan entah kenapa saya juga gak menyampaikan kebutuhan ini. Akhirnya, hati, pikiran dan mood semakin buyar dan ambyar. Energi yang sudah sangat terkuras di kantor ditambah keambyaran itu membuat badan semakin remuk redam. Gak ada energi tersisa untuk hal lain bahkan untuk mengurusi anak dan rumah. 

        Hal ini ditambah dengan fakta anak pertama yang sudah sekolah di boarding school masih pada fase belum stabil hatinya. Dia masih sering mengeluh gak betah dan ingin pindah sekolah. Mau tak mau pikiran dan hati semakin oleng. Energi semakin terkuras tak bersisa.

        Mungkin semua orang melihat saya bisa baik-baik saja melalui semua keseharian sendiri dengan powerful. Karena di depan orang lain saya masih bisa tertawa bahagia meski sebenarnya hati saya hampa. Dan sampai saat saya memutuskan untuk menuliskan perasaan saya ini, saya masih bertanya-tanya dalam hati bagaimana selanjutnya saya menghadapi semua ini. 

    Sulit rasanya untuk mengungkapkan dengan tepat perasaan yang saya rasa pada suami. Takut kalau saya menyampaikan ini semua justru akan menjadi bumerang yang akan semakin menguras energi. Bagi saya, kesalahan ini adalah dari dalam diri sendiri jadi harus diselesaikan oleh saya sendiri. Tapi bagaimana?

        Perjalanan LDM ini masih akan panjang dan saya belum menemukan formula yang tepat untuk menjalaninya dengan bahagia untuk kebaikan semua. Saya ingin menjalani LDM ini dengan energi penuh agar saya tetap produktif dan hati ini tetap terisi dengan cinta. Rasanya ingin berkata pada suami bahwa kamu mungkin melihatku menjalani semua kegiatan sehari-hari dengan baik, tapi apakah kamu pernah bertanya apakah aku bahagia?