Tiga hari hidup di pesisir selatan pulau Sumatra ini sungguh menjadi pengalaman yang sangat berharga. Berjalan kaki sekitar 10 menit setiap hari ke kantor melewati pasar terbesar yang ada di kota ini. Terjawab sudah keherananku akan hadirnya banyak anjing di terminal waktu itu. Ternyata di sini anjing seperti kucing di pulau Jawa. Mereka bebas berkeliaran dan sudah jinak alias gak bakal mengejar kita. Hari pertama berangkat kerja sih aku masih menghindar dari anjing-anjing itu. Kalau mereka ada di kiri jalan, aku menyebrang ke kanan, bagitupun sebaliknya. Jadi langkahku agak aneh dilihat orang, zig zag sepanjang jalan. Aku masih belum terbiasa dengan tatapan mesra hewan berkaki empat dengan taring tajam itu meski teman-teman sudah meyakinkanku kalau mereka jinak.
Hari ini aku mulai turun ke lapangan alias mulai mendatangi rumah-rumah responden untuk melakukan pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang pelatihannya sudah dilakukan di Kota Bengkulu waktu itu. Aku turun ke lapangan bersama teman sekantor yang asli Manna, yuk Alen namanya. Maklum, aku belum tau medan perangku jadi masih harus didampingi. Selain itu pekerjaan ini memang dilakukan dalam tim. Pembagian tugasnya, aku mendata di rumah responden A dan yuk Alen mendata di rumah responden B yang letaknya berdekatan.
Kami memutuskan untuk ke lapangan sore hari setelah sholat ashar karena kata yuk Alen orang-orang di wilayah pendataan ada di rumah kalau sore hari. Sebagian besar mereka pedagang di pasar katanya. Rasa grogipun muncul lagi dalam diri, membayangkan bagaimana caranya berhadapan dengan responden di daerah yang aku sendiri masih baru beradaptasi. Membayangkan bagaimana respon mereka ketika aku datang apalagi dengan membawa setumpuk pertanyaan membuatku sakit perut. Mungkin rasanya seperti orang demam panggung, tapi kali ini gak sampai mengeluarkan keringat dingin.
"Udah tenang aja, nanti kan sama ayuk. Gak usah grogi gitu lah. Orang Manna baik-baik kok" kata yuk Alen menenangkanku.
Jam 15.30 kami sudah ada di wilayah pendataan, deretan rumah sepanjang jalan di dekat pasar. "Kamu ke rumah ini ya, ayuk ke rumah sebelah." kata yuk Alen mengarahkanku.
Aku pun mengetuk pintu rumah yang ditunjukkan yuk Alen. Beberapa kali aku ketuk pintu tapi tak kunjung dibukakan. Mungkin harus agak keras mengucap salamnya, aku pun agak mengeraskan suara. Tapi sama saja tidak ada yang membukakan pintu. Aduh, baru rumah pertama sudah tidak dibukakan pintu.
Aku termenung menunggu di depan pintu. Sampai tiba-tiba gerombolan anak kecil yang sedang bermain di sebrang jalan berkata, "Ayuk, ndik diau jemau au yuk."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum mendengar perkataan anak-anak itu. Lalu aku kembali mencoba mengetuk pintu di hadapanku. Anak-anak itu berteriak lagi, "Ndik diau jemau au yuk."
Aku bingung kenapa mereka mengatakan itu lagi. Karena tidak mengerti, aku pun mengangguk dan tersenyum lagi. Kali ini satu dari gerombolan anak-anak kecil itu mendatangiku dan mengatakan kalimat yang sama dengan nada lebih lembut. Dan aku tetap mengangguk dan tersenyum. Anak itu memandangku penuh keheranan. Aku pun semakin bingung dibuatnya. Sampai akhirnya yuk Alen keluar dari rumah sebelah, "Kenapa?"
"Ndik diau jemau au yuk." kata anak kecil itu pada yuk Alen.
Yuk Alen pun tertawa dan menepuk pundakku, "Hahahaha. Itu artinya gak ada orang di rumah itu."
No comments:
Post a Comment