Sunday, 11 March 2018

Petualangan Si Pengumpul Data (4): Jalan Kaki Berhadiah Bakso

Belajar dari pengalaman kemarin, akhirnya aku minta diajarin sedikit tentang bahasa daerah yang digunakan di Manna. Cukup sekali deh nongkrong di depan rumah orang ditambah bonus malu di depan gerombolan anak kecil. Sebenarnya bahasa Serawai yang digunakam sehari-hari di sini tidak terlalu sulit dipelajari. Kebanyakan kosakata mirip seperti bahasa Indonesia hanya ditambah suku kata -au dibelakangnya. Tapi kosakata-kosakata baru yang sama sekali berbeda cukup membutuhkan usaha untuk menghafalkannya. 

Berbekal sedikit hafalan tentang kosakata bahasa Serawai, aku melanjutkan pekerjaanku untuk mendata lagi. Kali ini yuk Alen gak bisa mengantarku karena ada urusan keluarga. Itu artinya aku harus berjalan kaki karena aku tidak bisa naik motor dan di sini tidak semua jalan dilalui kendaraan umum. Ada ojek sih tapi kalau setiap pendataan aku naik ojek sepertinya keuanganku sebagai CPNS bisa defisit. Jadi jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan terbaik.

Alhamdulillah penduduk Kota Manna ini sangat ramah, aku tidak terlalu sulit untuk melakukan pendataan. Mereka sangat terbuka menyambut kehadiranku sebagai petugas pendata. Apalagi setelah mereka tahu aku adalah orang Jawa. Rupanya mereka sangat menghargai orang Jawa. Sampai-sampai mereka berlomba untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya di SMA atau perguruan tinggi di Jawa khususnya Jogja. Salah satu respondenku bercerita kalau ada anak yang sekolah di Jawa itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga. 

Kendala bahasa tidak lagi menjadi kendala yang berarti bagiku kini. Para responden berusaha berbicara dalam Bahasa Indonesia begitu tahu aku bukan asli Manna. Jalan kaki juga tidak menjadi beban ketika melihat para responden tersenyum dan antusias bercerita bahkan di luar konteks pertanyaan yang aku berikan. Kata senior-seniorku di kantor, kalau menemukan responden yang baik terkadang kita malah jadi susah pamitan karena mereka keasyikan bercerita tentang banyak hal. 

Seperti responden terakhir siang ini, aku masuk dengan keraguan awalnya. Bagaimana tidak, sudah hampir jam makan siang dan aku harus mendatangi responden yang berjualan bakso. Mau menunda untuk datang lagi sore nanti rasanya kok aku gak sanggup lagi. Nanggung sudah jalan kaki sejauh ini kalau harus kembali ke kantor dengan melepaskan satu responden terakhirku. Jadi aku putuskan tetap masuk saja. Bukan takut lapar melihat bakso sebab keraguanku, tapi kan menjelang waktu makan siang biasanya waktu tersibuk para penjual makanan. Aku takut mengganggu. 

Tapi alhamdulillah responden yang ini juga menyambutku dengan hangat. Pak Yanto namanya, beliau menjawab beberapa pertanyaanku dengan ramah. Aku perhatikan logatnya kok medok Jawa. Kuberanikan diri tuk bertanya, "Kok Pak Yanto logatnya seperti orang Jawa ya Pak? Memang aslinya orang mana?"

Ternyata Pak Yanto asli Surabaya tapi sudah lama merantau ke Manna untuk berjualan bakso. Pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner yang kupegang pun selalu diselingi dengan cerita dari Pak Yanto tentang pengalaman beliau merantau. Saya pun jadi ikut bercerita tentang alasan saya bisa nyasar ke Manna ini. Seperti kata orang, bertemu orang sedaerah di perantauan itu rasanya seperti menemukan keluarga yang hilang. Meski baru pertama bertemu dengan Pak Yanto dan istrinya yang akhirnya ikut bergabung ngobrol bersama kami, rasanya seperti sudah lama kenal. 

Apalagi setelah Bu Yanto menghidangkan semangkok bakso panas dengan asap mengepul yang menghadirkan aroma lezat di hadapanku, "Ayo mbak dimaem sik, mesti kesel toh mlaku mlaku ndata ket mau."

#onedayonepost #ODOPbatch5 #ODOPday46 #tantangancerbung

No comments:

Post a Comment