Sunday, 4 June 2017

Nice Home Work ( NHW #3 ) Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah



Membangun peradaban dari dalam rumah adalah tema materi ke-3 dari matrikulasi Institut Ibu Profesional. Untuk bisa membangun peradaban dari dalam rumah kita harus bisa menemukan misai spesifik kita dalam kehidupan ini. Banyak pertanyaan yang kita harus temukan jawabannya. Mengapa dulu kita memilih “dia” menjadi suami kita, apa keunikan positif yang kita miliki, mengapa Allah menitipkan amanah anak-anak hebat pada kita dan mengapa kita dan keluarga ditempatkan pada lingkungan yang sekarang? Apa sesungguhnya maksud dan kehendak Allah dibalik itu?
Dengan semua anugerah yang Allah berikan kepada kita, manfaat apa yang dapat kita berikan pada suami kita, anak kita, keluarga kita, lingkungan kita dalam sisa umur ini?
Untuk bisa menjawab semua itu kami para peserta matrikulasi diberi tugas untuk flashback masa-masa awal menerima “dia” sebagai suami dengan memberikan surat cinta padanya. Benar saja, terkadang seiring waktu berjalan kita seringkali lupa akan besarnya cinta pada “dia”. Keterpaksaan ini membuat saya kembali mensyukuri betapa beruntungnya saya telah berjodoh dengan “dia”.
Bertepatan dengan sepuluh tahun pertemuan kita pada tanggal 2 Juni, saya berikan surat cinta itu pada “dia”.
Reaksi “dia”?
Pak suami membaca sebentar lalu melanjutkan lembar-lembar berikutnya sambil memeluk istrinya ini. (Tuuuh kan saya jadi senyum senyum sendiri ingetnya). Setelah selesai membaca surat itu saya mendapat hadiah kecupan manis di kening. Meskipun Pak Suami sering melakukannya tapi kali ini terasa berbeda, ada bunga-bunga cinta lebih indah yang terasa. Benar kata orang, bersyukurlah maka kamu akan bahagia.
Tapi reaksi berikutnya, “Umi belajar dari mana tiba-tiba nggombal gini?”.


Lebih Mengenal Anak
Anak mbarep dan anak ragil saya adalah tipikal anak lanang yang sangat aktif. Rumah saya gak pernah sepi dan gak pernah rapi kecuali saat mereka berdua sakit. Beranteman, eyel-eyelan, rebutan adalah pemandangan sehari-hari. Meski  begitu kadang saya masih sering lupa itu adalah fitrah mereka sebagai anak-anak. Maafkan ummi ya nak.
Anak ragil cenderung lebih cerewet dibanding anak mbarep. Anak ragil ini bisa bercerita tentang apa saja dengan detail. Logika berpikir anak ragil tergolong sangat baik untuk anak seusianya, TK B.  Dia suka membaca dan mengingat apa yang dibacanya. Dia juga suka bertanya ini itu dan bisa mengingat jawabannya dengan sangat detail. Bersyukur saya dan suami dari awal sepakat bahwa kami mendidik anak dengan kejujuran. Kami selalu menjelaskan segala hal dengan keteranga yang sebenarnya. Kami tidak mau memberikan penjelasan yang tidak benar atau bohong pada anak. Karena kami percaya apa yang kami tanam itulah yang kami panen.
Anak ragil tergolong anak yang agak saklek. Jika kami menerapkan suatu aturan padanya di rumah, maka aturan itu pula akan dia terapkan pada teman-temannya saat dia bermain. Hal itu terkadang membuat dia tampak sedikit lebih keras kepala bagi teman-temannya. Tapi hal itu kami biarkan saja, toh apa yang dia lakukan itu memang benar.
Anak ragil juga tergolong anak yang mandiri diantara teman-teman seusianya. Semua kegiatan-kegiatan sehari-hari sudah bisa dia kerjakan sendiri. Dia juga suka membantu umminya di dapur.
Kekurangan anak ragil adalah masih suka emosional. Pernah ada kejadian lucu, waktu selesai bermain sore saya dengar dia menangis kencang sekali diteras rumah. Saya pikir dia berantem dengan mas nya, ternyata bukan, dia mengingatkan mas nya yang parkir sepedanya kurang lurus dan mas nya cuek. Dia memberi tahu mas nya sampai nangis-nangis. :-D
Nah beda dengan anak ragil yang saklek dengan aturan yang sudah diberlakukan ke dia, anak mbarep adalah anak yang sangat cuek. Gak jarang anak mbarep ini jadi korban omelan adiknya. Dan tetap saja dia menanggapinya dengan cuek.
Anak mbarep juga termasuk anak yang mandiri. Dia punya hati yang lembut dan penyayang dibalik sikap cueknya itu. Anak mbarep ini suka gak tegaan melihat orang lain sedih atau sakit. Itulah kenapa dia lebih nurut kalau umminya sedih dibanding umminya marah.
Anak mbarep juga tergolong anak yang pintar bergaul. Dia sangat baik pada teman-temannya. Bahkan pada awal masuk SD, uang sakunya malah sebagian besar dipakai untuk membelikan jajan teman-temannya.
Anak mbarep juga suka membantu umminya di dapur. Sejak awal kelas 1 SD dia sudah bisa menggoreng telur sendiri mulai dari memecahkan telur sampai menyajikan di piring.
Kekurangan anak mbarep ini ada pada verbalnya. Dia belum bisa menceritakan sesuatu dengan bahasa yang detail dan tertata. Saat dia melakukan suatu kesalahan dia cenderung menutupi kesalahannya itu dan enggan menceritakan pada kami orang tuanya. Ini PR besar buat kami agar lebih sering mengajak dia berbicara dari hati ke hati.
Yang pasti anak mbarep dan anak ragil adalah alasan kuat bagi saya untuk selalu belajar dan belajar lagi. Mereka adalah alasan kuat bagi saya untuk terus sabar dan sabar lagi.
Semoga saya dan suami selalu bisa memperbaiki diri sebagai orang tua dan seperti tujuan awal saya menikah muda dulu, saya ingin bisa menjadi sahabat bagi anak-anak saya.

Lebih mengenal diri sendiri.
Saya adalah orang yang keras kepala, egois, moody, tidak konsisten dan emosional. Sepertinya lima sifat itu sangat mewakili profil diri saya.
Tapi beberapa waktu terakhir ini saya sudah melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Saya bisa lebih easy going, tidak terlau memikirkan apa kata orang. Sedikit bersikap tidak peduli pada sekitar kadang menjadi lebih baik untuk saya.
Dulu saya bisa hampir setiap hari jengkel atau sedih sampai menangis hanya karena omongan orang. Tapi sekarang saya sudah mulai bisa tutup mata dan tutup kuping. Kalau ada omongan orang yang bisa saya ambil manfaatnya ya saya dengarkan, kalau tidak yang cukup lewati saja.
Akhir-akhir ini saya sedang belajar untuk menjadi individu, istri dan ibu yang lebih baik lagi. Karena sejak menikah saya tidak pernah mendapatkan bimbingan dari siapapun (ibu stroke ke-3 saat saya menikah, dan meninggal saat saya hamil 9 bulan anak pertama) saya berusaha mencari sumber ilmu sendiri. Saya berusaha memperbaiki diri dari segi ibadah terlebih dahulu, menyusun target-target perbaikan berikutnya dalam hal-hal yang lain juga.
Saya ingin bisa membahagiakan orang-orang di sekitar saya,
 meski hanya dengan berbagi senyuman.


Lebih mengenal lingkungan.
Saya bersyukur sekali diberi tempat tinggal di lingkungan yang sekarang. Tinggal disini membuat saya senantiasa besyukur dan menyadari bahwa rejeki bukan hanya tentang materi. Tapi tetangga yang baik adalah rejeki yang sangat berharga.
Tidak dekat dengan saudara membuat saya sangat bersyukur menemukan saudara-saudara baru disini. Sekeliling saya sudah seperti saudara bagi saya. Anak-anak mereka adalah anak saya juga.
Hanya saja saya belum bisa mencapai target untuk bisa aktif dalam kegiatan sosial masyarakat. Saya merasa kurang bisa mengakomodiri semua suara warga. Saya lebih memilih untuk berada di balik layar saja. Jika dibutuhkan ide-ide kegiatan, dengan senang hati saya akan menyumbangkan ide. Jika dibutuhkan tenaga sukarela saat kegiatan saya dengan senang hati akan membantu. Tapi saya belum bisa jika harus terlibat langsung sebagai pengurus. Terlalu menyita emosi menurut saya.
Saya juga bersyukur ada di lingkungan kantor yang sekarang . Dulu saya merasa berat untuk beradaptasi dikantor ini. Hampir setiap hari nangis. Tapi lama kelamaan saya belajar dari keadaan, saya seperti ditempa disini untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Dan proses belajar saya untuk beradaptasi di kantor sangat berpengaruh pada perbaikan karakter saya sehari-hari.
Meski begitu, masih banyak lagi perbaikan yang harus saya lakukan pada diri saya agar orang-orang di sekitar saya merasa lebih nyaman berada di dekat saya.












Dear Pak Suami



Dear Pak Suami,
2 Juni sepuluh tahun lalu adalah saat pertama kita bertatap muka setelah kurang lebih satu bulan berkomunikasi jarak jauh dipisahkan oleh selat Sunda.
2 Juni sepuluh tahun lalu itulah aku dengan tegas berkata padamu, “Kita sudah bertemu. Inilah aku dengan wujud nyataku. Kalau memang kamu serius segera kenalkan aku pada keluargamu dan lamar aku. Tapi kalau kamu tidak serius, perkenalan kita cukup sampai disini. “
2 Juni sepuluh tahun lalu menjadi langkah awal, menjadi cerita pembuka perjalanan kita berdua. Perkenalan yang masih sangat singkat, satu bulan tepatnya, lewat jejaring sosial, friendster waktu itu, tidak menghalangi kemantapan hatiku untuk memilihmu menjadi pendampingku. Hanya satu bulan komunikasi kita melalui sms dan telfon sudah cukup bisa meyakinkanku bahwa kamulah yang terbaik. Aku tinggal menunggu jawaban lewat keseriusanmu untuk memastikan bahwa kamu benar-benar jodohku.
Dear Pak Suami,
Aku teringat saat pertama kali melihat fotomu di Friendster waktu itu, reaksi pertamaku adalah “Ah gak ganteng.” , dan aku melewatkan begitu saja undangan pertemanan yang kau kirimkan. Tapi entah angin apa yang membuatku menghubungimu terlebih dahulu dikemudian hari. Sampai akhirnya satu bulan itu kita intensif berkomunikasi, membicarakan segala visi dan misi kehidupan masing-masing.
Dear Pak Suami,
Mungkin sampai sekarang aku masih sering bertanya-tanya mengapa engkau memilih aku menjadi pendamping hidupmu?
Aku dengan segala kekuranganku, aku yang merasa tak banyak kelebihan yang kupunya.
Dan kalau kau bertanya padaku, mengapa aku mantap memilihmu menjadi suamiku maka kau akan menemukan banyak jawaban.
Dear Pak Suami,
Kamu adalah orang hebat yang bisa menangani aku yang keras kepala ini.
Kamu adalah orang paling sabar yang bisa menghadapi besarnya egoku ini.
Kamu adalah orang yang sederhana, tidak neko-neko dan yang pasti kamu adalah lelaki pecinta keluarga.
Kamu adalah orang yang punya visi dan misi hidup yang searah denganku.
Kamu adalah orang yang tak pernah memperhitungkan materi untuk berbagi.
Kamu adalah orang yang bisa melembutkan hatiku disaat meledak-ledak emosiku.
Kamu adalah orang yang bisa menaklukkan hati ibuku hanya melalui fotomu.
Ahhhh Pak Suami,
Masih banyak lagi alasan yang membuatku jatuh cinta padamu waktu itu hingga kini.
Meski kamu bukan tipikal lelaki tukang gombal dengan segala kata rayuan. Kamu selalu bisa membuktikan cintamu lewat tingkah lakumu bukan kata-kata penuh rayu.
Kamu yang tak pernah menuntutku menjadi lemah lembut seperti wanita lain meski kau tahu betapa kasarnya aku.
Kamu yang tiba-tiba membelikan aku sandal jepit karena melihatku kelelahan berjalan dengan high heels agar tampak cantik saat berjalan denganmu.
Dear Pak Suami,
Sekarang pun aku masih jatuh cinta padamu. Meskipun pahit getir telah kita rasakan bersama, tapi kamu tetap yang terbaik bagiku.
Sekarangpun kamu masih selalu sabar meghadapi aku yang keras kepala, egois, moody dan emosional ini.
Dear Pak Suami,
Mungkin terkadang aku menjadi sangat menyebalkan buat kamu.
Mungkin aku terkadang sering mengganggu tidurmu dengan rengekanku.
Mungkin aku terkadang suka protes kalau kamu terlambat pulang kerja.
Mungkin aku terkadang suka keberatan kalau kamu sering ada kegiatan malam.
Mungkin aku sering meminta pertolonganmu untuk pekerjaan dapurku.
Tahukah engkau Pak Suami, aku melakukan itu semua karena aku selalu ingin dekat denganmu. Beberapa jam saja tanpa dirimu rasanya sepi. Saat kamu ke luar kota mungkin aku terlalu sering menghubungimu, mungkin aku terlalu sering menanyakan kamu sedang apa, dengan siapa, itu tak lain karena aku selalu mengkhawatirkanmu.
Dear Pak Suami,
Kau tahu betapa aku sangat takut untuk kehilanganmu. Kau tahu aku tak punya siapa-siapa lagi yang menyayangi selain dirimu. Itulah kenapa aku selalu berkata, jika aku boleh meminta pada Allah, suatu saat panggillah aku terlebih dahulu karena aku tak akan kuat untuk hidup tanpa dirimu.
Dear Pak Suami,
Terimakasih telah mewarnai hidupku sepuluh tahun ini.
Terimakasih telah mendampingi dan menjagaku sepuluh tahun ini.
Terimakasih telah bersedia memelukku disaat air mata menyapaku.
Terimakasih telah menenangkanku disaat amarah mendekatiku.
Terimakasih telah bersedia tertawa bersamaku meski itu menertawakan kekonyolan-kekonyolan diri kita sendiri.
Dear Pak Suami,
Maafkan aku dengan segala kekuranganku.
Maafkan aku terlalu banyak menuntutmu untuk lebih perhatian dan pengertian padahal aku lah sebenarnya yang sangat sulit untuk dimengerti.
Maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu.
Maafkan aku belum bisa menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anak kita.
Maafkan aku yang masih egois dan keras kepala.
Maafkan aku yang terlalu sering melukai hatimu dengan segala perkataan dan tingkah lakuku.

Dear Pak Suami,
Jika aku boleh mengutip lirik sebuah lagu , aku pilih lagu ini untukmu
Aku manusia yang paling butuh kamu
Membutuhkanmu
Hatiku memalingkan pandang hanya padamu
Pada hatimu
Jangan lelah menghadapiku
Biarkan aku jadi yang terhebat
Jadilah kamu kekasih yang kuat
Genggam tanganku bernyanyi bersama
Karena kamu kekasih terhebat
Aku manusia yang paling butuh kamu
Membutuhkanmu
Jangan lelah menghadapiku
Dear Pak Suami,
Terimakasih atas sepuluh tahun ini, jangan pernah lelah menghadapiku karena aku adalah manusia yang paling butuh kamu, dulu, sekarang dan selamanya.
2 Juni 2017

Dari aku yang selalu membutuhkanmu.







Thursday, 1 June 2017

Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah (Materi 3 Matrikulasi Institut Ibu Profesional #batch4)


Alhamdulillah dalam bulan Ramadhan ini saya bisa mengisi waktu dengan banyak belajar. Salah satunya dengan mengikuti program Matrikulasi Institut Ibu Profesional (IIP) #batch4. Kali ini saya akan menuliskan resume materi ke-3 yaitu “Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah”.
Membaca judulnya yang terbayang pertama kali adalah sesuatu yang berat. Bagaimana tidak, membangun peradaban kalau dalam buku pelajaran Sejarah adalah sesuatu yang sangat besar, suatu perjuangan yang butuh waktu berabad-abad lamanya. Tapi setelah saya pikirkan lagi, iya benar seorang ibu memang berperan dalam membangun suatu peradaban di muka bumi ini. Dari dalam rumah kitalah akan muncul generasi-generasi penerus yang akan turut serta berperan dalam suatu peradaban. Dan semua dimulai dari rumah, membangun peradaban dari dalam rumah.
“ Rumah adalah taman dan gerbang peradaban yang mengantarkan anggota keluarganya menuju peran peradabannya ”
Sebagai seorang ibu, tentunya bersama suami, kita diberi amanah untuk membangun peradaban melalui pendidikan anak-anak kita. Tugas kita adalah bagaimana kita mendidik anak-anak sesuai dengan kehendak Illahi bukan kehendak kita semata.
Dan sebenarnya setiap keluarga memiliki “peran spesifik” masing-masing di muka bumi ini. Lalu apa sebenarnya peran kita, dan bagaimana cara memahaminya?
Dalam materi ke-3 program matrikulasi ini kita dibantu untuk memahami “peran spesifik” kita dalam membangun peradaban dari dalam rumah. Tidak hanya untuk yang sudah menikah, tapi ada juga penjelasan bagi yang belum menikah ataupun single parents.
Bagi yang sudah menikah, untuk membangun peradaban dari dalam rumah bisa dimulai dengan langkah-langkah berikut:
·         Temukan potensi unik kita dan suami, mengapa dulu kita memilih “dia” menjadi suami kita? Apa yang membuat kita jatuh cinta padanya? Dan apakah sampai hari ini kita masih bangga terhadap suami kita?
·         Temukan keunikan positif yang kita miliki. Mengapa Allah menciptakan kita di muka bumi ini? Mengapa kita berjodoh dengan laki-laki yang sekarang menjadi suami kita? Apa pesan rahasia Allah terhadap diri kita di muka bumi ini?
·         Lihat anak-anak luar biasa yang diamanahkan Allah pada kita. Mengapa kita yang dipilih untuk tempat bertumbuhnya janin anak-anak hebat yang sekarang ada bersama kita? Mengapa kita dipercaya untuk menerima amanah anak-anak ini? Punya misi spesifik apa Allah kepada keluarga kita, sehingga menghadirkan anak-anak ini di dalam rumah kita?
·         Lihat lingkungan dimana kita hidup saat ini. Mengapa kita bisa bertahan hidup dengan kondisi alam dimana tempat kita tinggal saat ini? Mengapa Allah menempatkan keluarga kita disini? Mengapa keluarga kita didekatkan dengan komunitas-komunitas yang berada di sekeliling kita saat ini?
Apabila kita bisa menjawab empat pertanyaan diatas, kita akan mengetahui apa sebenarnya “misi pernikahan” kita sehingga kita layak mempertahankan keluarga kita di muka bumi ini.
Berawal dari memahami peran spesifik keluarga kita dalam membangun peradaban, kita akan makin paham apa potensi unik produktif keluarga kita, sehingga kita bisa senantiasa berjalan di jalanNya.
Tahap berikutnya nanti kita akan makin paham program dan kurikulum pendidikan semacam apa yang paling cocok untuk anak-anak kita, diselaraskan dengan bakat tiap anak, potensi unik alam sekitar, kearifan lokal dan potensi komunitas di sekitar kita.
IT TAKES A VILLAGE TO RAISE A CHILD

Perlu orang satu kampung untuk mendidik satu orang anak