Membangun peradaban dari
dalam rumah adalah tema materi ke-3 dari matrikulasi Institut Ibu Profesional.
Untuk bisa membangun peradaban dari dalam rumah kita harus bisa menemukan misai
spesifik kita dalam kehidupan ini. Banyak pertanyaan yang kita harus temukan
jawabannya. Mengapa dulu kita memilih “dia” menjadi suami kita, apa keunikan
positif yang kita miliki, mengapa Allah menitipkan amanah anak-anak hebat pada
kita dan mengapa kita dan keluarga ditempatkan pada lingkungan yang sekarang? Apa
sesungguhnya maksud dan kehendak Allah dibalik itu?
Dengan semua anugerah
yang Allah berikan kepada kita, manfaat apa yang dapat kita berikan pada suami
kita, anak kita, keluarga kita, lingkungan kita dalam sisa umur ini?
Untuk bisa menjawab
semua itu kami para peserta matrikulasi diberi tugas untuk flashback masa-masa
awal menerima “dia” sebagai suami dengan memberikan surat cinta padanya. Benar
saja, terkadang seiring waktu berjalan kita seringkali lupa akan besarnya cinta
pada “dia”. Keterpaksaan ini membuat saya kembali mensyukuri betapa
beruntungnya saya telah berjodoh dengan “dia”.
Bertepatan dengan
sepuluh tahun pertemuan kita pada tanggal 2 Juni, saya berikan surat cinta itu
pada “dia”.
Reaksi “dia”?
Pak suami membaca
sebentar lalu melanjutkan lembar-lembar berikutnya sambil memeluk istrinya ini.
(Tuuuh kan saya jadi senyum senyum sendiri ingetnya). Setelah selesai membaca
surat itu saya mendapat hadiah kecupan manis di kening. Meskipun Pak Suami
sering melakukannya tapi kali ini terasa berbeda, ada bunga-bunga cinta lebih
indah yang terasa. Benar kata orang, bersyukurlah maka kamu akan bahagia.
Tapi reaksi berikutnya, “Umi
belajar dari mana tiba-tiba nggombal gini?”.
Lebih
Mengenal Anak
Anak mbarep dan anak
ragil saya adalah tipikal anak lanang yang sangat aktif. Rumah saya gak pernah
sepi dan gak pernah rapi kecuali saat mereka berdua sakit. Beranteman,
eyel-eyelan, rebutan adalah pemandangan sehari-hari. Meski begitu kadang saya masih sering lupa itu
adalah fitrah mereka sebagai anak-anak. Maafkan ummi ya nak.
Anak ragil cenderung
lebih cerewet dibanding anak mbarep. Anak ragil ini bisa bercerita tentang apa
saja dengan detail. Logika berpikir anak ragil tergolong sangat baik untuk anak
seusianya, TK B. Dia suka membaca dan
mengingat apa yang dibacanya. Dia juga suka bertanya ini itu dan bisa mengingat
jawabannya dengan sangat detail. Bersyukur saya dan suami dari awal sepakat
bahwa kami mendidik anak dengan kejujuran. Kami selalu menjelaskan segala hal
dengan keteranga yang sebenarnya. Kami tidak mau memberikan penjelasan yang
tidak benar atau bohong pada anak. Karena kami percaya apa yang kami tanam
itulah yang kami panen.
Anak ragil tergolong
anak yang agak saklek. Jika kami menerapkan suatu aturan padanya di rumah, maka
aturan itu pula akan dia terapkan pada teman-temannya saat dia bermain. Hal itu
terkadang membuat dia tampak sedikit lebih keras kepala bagi teman-temannya. Tapi
hal itu kami biarkan saja, toh apa yang dia lakukan itu memang benar.
Anak ragil juga
tergolong anak yang mandiri diantara teman-teman seusianya. Semua kegiatan-kegiatan
sehari-hari sudah bisa dia kerjakan sendiri. Dia juga suka membantu umminya di
dapur.
Kekurangan anak ragil
adalah masih suka emosional. Pernah ada kejadian lucu, waktu selesai bermain
sore saya dengar dia menangis kencang sekali diteras rumah. Saya pikir dia
berantem dengan mas nya, ternyata bukan, dia mengingatkan mas nya yang parkir
sepedanya kurang lurus dan mas nya cuek. Dia memberi tahu mas nya sampai
nangis-nangis. :-D
Nah beda dengan anak
ragil yang saklek dengan aturan yang sudah diberlakukan ke dia, anak mbarep
adalah anak yang sangat cuek. Gak jarang anak mbarep ini jadi korban omelan
adiknya. Dan tetap saja dia menanggapinya dengan cuek.
Anak mbarep juga
termasuk anak yang mandiri. Dia punya hati yang lembut dan penyayang dibalik
sikap cueknya itu. Anak mbarep ini suka gak tegaan melihat orang lain sedih
atau sakit. Itulah kenapa dia lebih nurut kalau umminya sedih dibanding umminya
marah.
Anak mbarep juga
tergolong anak yang pintar bergaul. Dia sangat baik pada teman-temannya. Bahkan
pada awal masuk SD, uang sakunya malah sebagian besar dipakai untuk membelikan
jajan teman-temannya.
Anak mbarep juga suka
membantu umminya di dapur. Sejak awal kelas 1 SD dia sudah bisa menggoreng
telur sendiri mulai dari memecahkan telur sampai menyajikan di piring.
Kekurangan anak mbarep
ini ada pada verbalnya. Dia belum bisa menceritakan sesuatu dengan bahasa yang
detail dan tertata. Saat dia melakukan suatu kesalahan dia cenderung menutupi
kesalahannya itu dan enggan menceritakan pada kami orang tuanya. Ini PR besar
buat kami agar lebih sering mengajak dia berbicara dari hati ke hati.
Yang pasti anak mbarep
dan anak ragil adalah alasan kuat bagi saya untuk selalu belajar dan belajar
lagi. Mereka adalah alasan kuat bagi saya untuk terus sabar dan sabar lagi.
Semoga saya dan suami
selalu bisa memperbaiki diri sebagai orang tua dan seperti tujuan awal saya
menikah muda dulu, saya ingin bisa menjadi sahabat bagi anak-anak saya.
Lebih
mengenal diri sendiri.
Saya adalah orang yang
keras kepala, egois, moody, tidak konsisten dan emosional. Sepertinya lima
sifat itu sangat mewakili profil diri saya.
Tapi beberapa waktu
terakhir ini saya sudah melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Saya bisa
lebih easy going, tidak terlau memikirkan apa kata orang. Sedikit bersikap
tidak peduli pada sekitar kadang menjadi lebih baik untuk saya.
Dulu saya bisa hampir
setiap hari jengkel atau sedih sampai menangis hanya karena omongan orang. Tapi
sekarang saya sudah mulai bisa tutup mata dan tutup kuping. Kalau ada omongan
orang yang bisa saya ambil manfaatnya ya saya dengarkan, kalau tidak yang cukup
lewati saja.
Akhir-akhir ini saya
sedang belajar untuk menjadi individu, istri dan ibu yang lebih baik lagi. Karena
sejak menikah saya tidak pernah mendapatkan bimbingan dari siapapun (ibu stroke
ke-3 saat saya menikah, dan meninggal saat saya hamil 9 bulan anak pertama)
saya berusaha mencari sumber ilmu sendiri. Saya berusaha memperbaiki diri dari
segi ibadah terlebih dahulu, menyusun target-target perbaikan berikutnya dalam
hal-hal yang lain juga.
Saya ingin bisa
membahagiakan orang-orang di sekitar saya,
meski hanya dengan berbagi senyuman.
Lebih
mengenal lingkungan.
Saya bersyukur sekali
diberi tempat tinggal di lingkungan yang sekarang. Tinggal disini membuat saya
senantiasa besyukur dan menyadari bahwa rejeki bukan hanya tentang materi. Tapi
tetangga yang baik adalah rejeki yang sangat berharga.
Tidak dekat dengan
saudara membuat saya sangat bersyukur menemukan saudara-saudara baru disini. Sekeliling
saya sudah seperti saudara bagi saya. Anak-anak mereka adalah anak saya juga.
Hanya saja saya belum
bisa mencapai target untuk bisa aktif dalam kegiatan sosial masyarakat. Saya merasa
kurang bisa mengakomodiri semua suara warga. Saya lebih memilih untuk berada di
balik layar saja. Jika dibutuhkan ide-ide kegiatan, dengan senang hati saya
akan menyumbangkan ide. Jika dibutuhkan tenaga sukarela saat kegiatan saya
dengan senang hati akan membantu. Tapi saya belum bisa jika harus terlibat
langsung sebagai pengurus. Terlalu menyita emosi menurut saya.
Saya juga bersyukur ada
di lingkungan kantor yang sekarang . Dulu saya merasa berat untuk beradaptasi
dikantor ini. Hampir setiap hari nangis. Tapi lama kelamaan saya belajar dari
keadaan, saya seperti ditempa disini untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Dan
proses belajar saya untuk beradaptasi di kantor sangat berpengaruh pada
perbaikan karakter saya sehari-hari.
No comments:
Post a Comment