Monday 12 October 2020

The New Journey Begin


Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Burung-burung_Cenderawasih

Beberapa hari lalu anak ragil mendapatkan pelajaran tentang hewan langka yang sekarang sudah dilindungi oleh negara. Salah satunya adalah burung cenderawasih. Dia belajar mengapa burung cenderawasih sekarang dinyatakan langka, bagaimana ciri-ciri burung cenderawasih dan juga di mana habitat asli burung cantik ini. Kami pun menerangkan tentang Papua, habitat asal burung cenderawasih. Tak menyangka, kalau cerita tentang Papua dan burung cenderawasih ini berbuntut panjang dalam kisah hidup kami.

Sore itu, Bunda sedang mengikuti acara pertemuan Dharma Wanita di kantor. Sambil menyimak acara, sesekali Bunda membuka pesan masuk di ponsel. Ada satu notifikasi telfon tak terangkat dari sahabat kuliah yang suaminya juga sahabat dari si Ayah. Ada apa ya kok telfon, pikir Bunda. Sempat tersirat kekhawatiran karena dia dan keluarga sedang diberi ujian oleh Allah untuk berjuang melawan virus Corona. Jangan-jangan ada apa-apa. Tapi begitu membuka pesan darinya, Bunda mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya. "Sabar ya jeng" begitu pesannya. Bukannya Bunda yang harus mengatakan itu pada dia yang sedang berjuang. Belum sempat membalas pesannya, Bunda melihat pesan yang belum terbuka di grup keluarga. Terbaca sekilas pesan dari Pakdenya krucil, "Sabar yo le. Dilakoni wae"

Wuah, pikiran mulai melayang, hati pun ikut tak tenang. Jangan-jangan.....

Bunda sudah tidak fokus dengan pembahasan dalam acara Dharma Wanita. Bunda buka pesan di grup keluarga. Ada sebaris potongan tabel di sana yang berisi nama si Ayah, instansi kerja saat ini, Pekalongan, dan di ujung tabel itu tertuliskan Jayapura. 

Allahu akbar.

Hanya satu kata itu yang terlintas di kepala. Tak terasa, ada bendungan air mata yang tak tertahankan untuk tertumpah. Tapi karena tak ingin menjadi pusat perhatian di tengah acara, Bunda mencoba untuk menahan air mata agar tetap di tempatnya. Mencoba menghela nafas panjang dan beristighfar agar hati ini lebih tenang. Satu menit, dua menit, tiga menit......

Lalu mencoba membagikan kabar itu pada dua sahabat yang duduk berjauhan dari Bunda dengan gerakan bibir yang tak bersuara. Ekspresi mereka malah lebih syok dari Bunda. Mereka berkata, tenang dulu ya. Bunda masih berusaha untuk tenang, tapi air mata ini tak lagi bisa ditahan. Pikiran mulai penuh dengan banyak hal. Akhirnya Bunda memutuskan untuk keluar ruangan, meminta teman untuk menyampaikan ijin pada pimpinan. Berlari Bunda mencari sahabat yang biasa menampung air mata ini. Bunda butuh pelukan. Dia sedang sholat ashar. Tak sabar Bunda menunggu, begitu rangkaian sholatnya berujung pada salam, Bunda menyergapnya sambil terisak dalam tangisan. Bunda kabarkan padanya tentang berita mutasi si Ayah. Dia memeluk Bunda, membiarkan tangisan ini pecah sampai hati lega seperti biasa. 

Berita ini bukan sesuatu yang sepenuhnya mengejutkan sebenarnya. Sejak sebelum menikah, si Ayah sudah menceritakan kemungkinan mutasi ke seluruh Indonesia. Terlebih di awal tahun ini, si Ayah mengikuti assesment test kenaikan jenjang fungsional. Dan beberapa minggu kemudian, kami mendapatkan kabar dari sekian banyak yang mengikuti tes, hanya 4 orang saja yang lulus, salah satunya si Ayah. Selamat ya, tinggal menunggu SK, kata kolega si Ayah waktu itu. Jadi aroma mutasi sudah mulai tercium sejak awal tahun. 

Sejak saat itu, kami mulai membahas beberapa hal yang perlu disiapkan jika waktunya tiba. Sounding ke anak-anak tentang kemungkinan Ayahnya pindah tugas ke daerah lain, penyiapan mental Bunda, menyiapkan anak-anak untuk lebih mandiri dengan mengajak mereka piket berbagi tugas pekerjaan rumah, menata finansial, sampai memperdalam ilmu agama dengan ngaji tentang takdir Allah dan cara ikhlas menerimanya. 

Tapi bukan manusia jika tak mudah lelah hatinnya. Hati kami yang lemah ini mulai berharap jika kondisi pandemi akan menunda terbitnya SK pindah di instansi kerja si Ayah. Tapi tiba-tiba di tengah tahun mulai bermunculan berita mutasi di kantor si Ayah. Tak termasuk nama si Ayah dalam 4 kloter mutasi saat itu. Tetapi kloter ke-4 mutasi membuat si Ayah sedikit nge-drop mentalnya. Kursi kosong di pulau Jawa dan pulau Sumatra yang tadinya menjadi harapan si Ayah, tetiba penuh diisi oleh rombongan mutasi kloter ke-4 kala itu. Tinggal beberapa kursi kosong di wilayah timur Indonesia yang tersisa. Ternate, Ambon, Biak, Sorong dan Jayapura yang tersisa kata si Ayah. Sekuat-kuatnya sosok si Ayah di mata kami, istri dan anak-anaknya, beliau tetaplah memiliki rasa berat untuk bekerja jauh dari keluarga. 

Dengan sok kuat, Bunda berusaha menenangkan si Ayah kala itu. Bunda mengatakan, yakinlah keputusan Allah itu tidak pernah salah. Allah Maha Baik. Selama ini, apa yang Allah berikan pada kita sudah sangat luar biasa. Bisa bertahan di kota ini selama 7 tahun adalah anugerah yang besar dari-Nya. Kelak, jika waktu itu tiba, yakin saja kita pasti sudah dinilai siap untuk menjalaninya, insyaallah. Jangan khawatir, Allah sudah memberikan kita lingkungan rumah yang aman, insyaallah. Kita juga punya banyak tetangga rasa saudara, teman-teman kantor yang begitu baiknya dan anak-anak yang sudah mulai tumbuh kemandiriannya. Jangan khawatir, begitu yang Bunda sampaikan saat itu pada si Ayah.

Namun ternyata ketika saatnya tiba, Bunda tak setegar itu. Pecah tangisan Bunda dalam pelukan sahabat yang berusaha menenangkan. Apakah Bunda kuat? Apakah Bunda bisa? Apakah Bunda sanggup? Beberapa pertanyaan yang terlintas di tengah linangan air mata. Hal besar yang paling Bunda khawatirkan adalah anak mbarep. Dia kelas 5 SD sekarang, tapi kami sama sekali belum punya gambaran tentang lanjutan sekolah jenjang berikutnya. Anak mbarep belum tumbuh benar tanggung jawab belajarnya. Dia masih bahagia dengan kegiatan bermainnya. Lalu apa yang akan Bunda lakukan untuk mendampingi dia menjelang kelulusan sekolah dasarnya jika si Ayah nun jauh di sana. Apakah Bunda sanggup menjalani semua peran di rumah jika si Ayah secara fisik tak setiap saat ada?

Isakan dan linangan air mata yang tak terbendung itu membuat kerumunan bapak-bapak di kantor yang kebetulan sedang berkumpul di sekitar mushola melihat Bunda dengan penuh kekhawatiran. Terucaplah istighfar sambil melepas pelukan dari sahabat Bunda. Dia meyakinkan kalau Bunda pasti bisa, Bunda pasti kuat dan harus kuat agar si Ayah dan anak-anak juga kuat. Sambil menyeka air mata, Bunda mengambil air wudhu untuk bersujud pada-Nya. Bunda tak bertanya mengapa, Bunda hanya berdo'a meminta kekuatan menjalaninya saja. Karena Bunda yakin semua yang diberikan Allah adalah hal terbaik bagi Bunda dan keluarga. 

Setelah sholat, Bunda mencoba menghubungi si Ayah. Tak ada pesan masuk darinya. Telpon pun tak diangkat. Ah, mungkin si Ayah juga sedang terkejut dengan berita ini. Mungkin beliau masih mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita ini pada Bunda. Sambil menunggu kabar dari si Ayah, Bunda pun mulai mengabari sanak saudara, meminta bantuan do'a agar kami kuat dan tetap bahagia menjalani takdir-Nya. 

Sampai jam pulang kerja jauh terlewat, si Ayah tak kunjung memberikan kabar. Bunda hanya menuliskan pesan, "Ayah semangat ya. Insyaallah kami akan baik-baik saja di sini. Jangan khawatir, kita pasti bisa."

Padahal pikiran Bunda masih dipenuhi dengan nasib anak mbarep. Bagaimana cara Bunda nanti mendampingi menjelang kelulusan sekolah dasarnya dengan kondisi anak mbarep yang sekarang masih asyik bermain saja. Sahabat lain di kantor menyampaikan, "Siapa tahu nanti dengan kondisi Ayahnya yang jauh akan muncul tanggung jawab lebih dari anak mbarep. Insyaallah akan ada hikmah baik dari semua ini" Benar juga. Semoga saja.

Alhamdulillah dukungan dari sahabat-sahabat di kantor membuat Bunda bisa tersenyum di hari Jum'at sore itu. Dan pada waktu si Ayah datang menjemput, hati Bunda sudah pada titik tenang. Meski begitu, ketika masuk mobil, kami berdua sama-sama tercekat tak mampu berbicara apa-apa. Kami hanya berpelukan, tanpa kata, tapi hangat terasa. Lalu kami hanya meniti perjalanan pulang dengan seuntai senyuman. Beberapa saat sebelum sampai di rumah, kami memikirkan hal yang sama. Bagaimana cara menyampaikan berita ini pada anak-anak?

Kami belum menemukan jawabannya hingga sampai di rumah. Kami sama-sama tak tahu bagaimana cara menyampaikan kabar ini pada mereka. Tapi kesunyian di rumah pecah ketika anak mbarep tiba-tiba terisak. Kami bingung, kenapa dia tiba-tiba menangis. Tak lama, Bunda tersadar, anak mbarep sedari kecil memang punya hati yang lembut. Dia paling perasa ketika Bundanya sedang sedih hati. Kami pun bertanya apa yang membuatnya sedih? Mungkin dia merasakan kesedihan hati Bunda, tapi tak tahun alasannya. Diapun menjawab, "Aku kangen Mbah Kung" 

Ya, mungkin dia merasakan kesedihan bundanya. Tapi karena tak punya alasan, terbukalah satu-satunya memori sedih terbesar dalam hidupnya, yaitu ketika Mbah Kungnya meninggal. Kami pun tersenyum seraya berkata, "Baiklah kalau kangen mbah kung, besok kita mudik ya"

Anak mbarep pun mengangguk, tanpa tahu alasan sebenarnya kami mengajak mudik adalah untuk memberikan kabar mutasi ini pada Mbah Uti dan meminta restu beliau sebelum si Ayah berangkat ke Jayapura, tanah Papua. Kami berdua tak membahas apapun lagi tentang ini di rumah, hanya tersenyum saling menatap, seakan empat mata kita serempak berkata, "The New Journey Begin"


 

3 comments:

  1. Ttp semangat walau tidak mudah seperti saat mengucapkannya, insyaAllah diberikah kemudahan dan kelancaran. Berkah serta senantiasa dalam lindungan Allah ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Maturnuwun sanget do'a dan dukungannya

      Delete
  2. Mbak Nurul, baca ini teringat zamanku dulu buka amplop SK penempatan. Teman-temanku nangis karena dapat bukan di Jawa. Aku tuh sok tegar lihat isi amplop tapi begitu sampai di Kota penempatan (Palu) malah nangis. Hahaha ...

    Bismillah ya mbak, dg kecanggihan teknologi seperti sekarang tetap terjalin komunikasi dg suami. Anak-anak juga paham kondisinya dan keluargamu makin solid.

    ReplyDelete