Sunday, 5 November 2017

Berunding Bukan Bertanding

Selamat hari minggu teman-teman. Hari minggu itu saatnya fulltime bareng family. Meski kami gak kemana-mana hari ini, hanya kruntelan saja di rumah justru itulah momen paling berharga. Kruntelan bersama, menyiapkan sarapan sampai sarapan bersama. Tapi abis sarapan, krucils langsung ucul semua. Mereka main ke rumah tetangga, lalu gak lama gantian teman-temannya yang mereka boyong ke rumah. Ummi ayah masak masak aja didapur, ujicoba bandeng presto untuk kedua kalinya. 

Krucils baru bubaran mainnya pas adzan dzuhur tiba. Alhamdulillah untuk urusan yang satu ini kami gak perlu repot mencari kesana kemari atau menjemput mereka buat balik ke rumah. Dari awal kami sudah membuat kesepakatan bahwa hari minggu mereka boleh main ke rumah tetangga yang mana saja dengan syarat sudah mandi, sudah merapikan tempat tidur dan sudah sarapan, serta pulangnya paling lama pas adzan dzuhur tiba. 

Sejak anak-anak kecil kami selalu membuat kesepakatan-kesepakatan dengan mereka. Kami membuat aturan-aturan yang kami sampaikan dengan bahasa kesepakatan. Sebelumnya kami pasti menjelaskan kenapa kita harus membuat kesepakatam itu. Apa manfaat untuk mereka kalau mereka menjalankan kesepakatan itu dan juga apa ruginya kalau mereka melanggar kesepakatan itu. Termasuk kesepakatan untuk selalu tidur siang. 

Kami masih mewajibkan anak-anak untuk tidur siang. Kami menjelaskan bahwa tubuh mereka berhak istirahat dan juga pertumbuhan anak-anak itu paling cepat di saat mereka tidur. Dan khusus hari Minggu, kami bisa menemani anak-anak untuk tidur siang. Momen yang suatu saat nanti akan kami rindukan pasti. Sebelum tidur siang kami akan banyak bercerita sambil memandang daun-daun hijau di luar jendela.

Seperti siang ini, anak mbarep komplain tentang batalnya kunjungan kita bank. Ah ini dia saya belum bisa memenuhi janji untuk mengantarkan anak-anak menyetor uang sangu yang mereka dapatkan dari Mbah Uti ke bank. Anak mbarep bilang, "Ummi ini bilang sendiri iya iya iya iya tapi gak berangkat berangkat ke bank."

Wah anak Ummi udah bisa komplai lho. Saya menghargai ucapan anak mbarep karena memang saya yang salah. "Maaf ya Mas, Ummi minggu ini masih banyak pekerjaan. Belum bisa ijin untuk antar ke bank. Nanti ya kalau Ummi sudah agak berkurang pekerjaannya Insya Allah Ummi antar kawan-kawan ke bank." (Saya terbiasa menyebut mereka berdua dengan sebutan kawan-kawan). Saya mengajarkan pada mereka bahwa kita harus berani mengakui kesalahan dan berani meminta maaf. Saya pun kalau salah ya langsung minta maaf pada mereka agar menjadi contoh bahwa kami orangtua pun pernah berbuat salah dan langsung meminta maaf.

Selesai membahas agenda menabung di bank, anak mbarep bilang kalau besok ternyata dia ulangannya bukan cuma Bahasa Jawa saja, tapi juga Bahasa Arab. Padahal kemarin di catatan buku kecilnya hanya ulangan Bahasa Jawa saja. Dia lupa mencatat katanya. Saya lalu menawarkan sebuah pilihan, "Bagaimana kalau nanti sore Mas gak main dulu? Kita bisa mulai belajarnya sore. Biar nanti selesainya gak kemaleman? Kan kita belajarnya dua pelajaran." Dia mendengar dengan seksama tapi lalu menampakkan wajah sedih, "Padahal kan aku sudah janjian sama Fayat buat main bola nanti sore.". 

Saya tersenyum dan mengatakan, "Ummi gak melarang Mas main sore. Ummi menawarkan saja, kalau Mas main sore berarti kita mulai belajarnya setelah sholat maghrib. Ada 2 pelajaran yang kita ulang. Jadi kemungkinan selesainya akan lebih malam. Kan kita harus makan malam juga. Kalau kita belajarnya mulai sore, kita bisa belajar satu pelajaran sore sampai maghrib. Setelah sholat maghrib tinggal belajar satu pelajaran saja. Bagaimana? Mas mau pilih yang mana?"

Dia termenung sepertinya sedang memikirkan pilihan itu. Dengan gak semangat dia menjawab, "Ya sudah nanti sore belajar aja.". Saya pun langsung memeluknya dan berkata, "Ok nanti sore kita belajar bersama ya."

Yup, meski akhirnyaanak mbarep memutuskan pilihan belajar sore dengan kurang semangat setidaknya dia melalui proses berpikir dalam memutuskan pilihan itu. Dan saya memilih untuk berdiskusi, memberikan pilihan, menjelaskan konsekuensi masing-masing pilihan dibanding dengan memberikan sebuah kalimat perintah, "Mas nanti sore jangan main sore ya. Mas harus belajar lho karena besok ulangannya dua." Mungkin saya akan mendapatkan hasil yang sama yaitu anak mbarep akan memulai belajar sore hari. Tapi kalau saya memilih untuk menggunakan kalimat perintah, saya tidak membuat anak mbarep melalui proses berpikir, proses mengenali konsekuensi dari sebuah pilihan. 

Hal ini juga dibahas pada materi Komunikasi Produktif di kelas Bunda Sayang untuk mengganti kalimat perintah dengan pilihan.

Baca juga : Cerita, Perjalanan dan Durian

#harike4
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
#kelasbundasayang
#institutibuprofesional
#iippekalongan
#iipsemarang
#iipjawatengah


No comments:

Post a Comment